DIGITALISASI SEKTOR SOSIAL PESAT, TAPI RENTAN SERANGAN SIBER

Diterbitkan pada Kamis, 04 Juli 2024

DIGITALISASI SEKTOR SOSIAL PESAT, TAPI RENTAN SERANGAN SIBER


Di tengah pesatnya digitalisasi sektor sosial di Asia, termasuk Indonesia, organisasi sosial (ormas) rentan terhadap ancaman siber. Kerentanan ini menjadi salah satu indikator ketidaksiapan sektor ini menghadapi era digital. Mereka kesulitan mengikuti perubahan teknologi informasi karena minimnya akses terhadap infrastruktur digital, rendahnya kapasitas pengelola, serta kurangnya dukungan donor dan kebijakan pemerintah. Kondisi ini menghambat kemampuan sektor sosial dalam menyediakan produk dan layanan kepada masyarakat dengan memanfaatkan teknologi digital.

Temuan-temuan kunci ini muncul dalam acara peluncuran sekaligus diskusi publik Laporan  Doing Good Index (DGI) 2024  yang digelar PIRAC  bekerja sama dengan  Yayasan Penabulu, Co-Evolve II, Dompet Dhuafa dan Human Initiative  di Jakarta, Kamis siang (4/7). 

Indeks Doing Good atau Indeks Berbuat Baik merupakan kajian 2 tahunan yang menggambarkan peta kebijakan, praktik kelembagaan, dan lanskap sektor sosial di 17 negara Asia, termasuk Indonesia. DGI mengkaji 4 (empat) sub indeks yang dinilai dapat memperkuat atau melemahkan inisiatif sosial, yaitu: peraturan perundang-undangan, kebijakan pajak dan fiskal, kebijakan pengadaan (pengadaan barang dan jasa), serta sektor sosial. Selain komponen di atas, DGI 2024 juga secara khusus mengkaji digitalisasi sektor sosial. Kajian 2 tahunan yang dikoordinasikan oleh Centre for Asian Philanthropy and Society (CAPS) melibatkan 2.183 organisasi sebagai responden dan 140 panel ahli. Pelaksanaan riset DGI 2024 di Indonesia dilakukan berkolaborasi dengan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) dan melibatkan 202 organisasi dan 11 pakar. 

Annelotte Walsh, Ph.D., Direktur Penelitian CAPS, menjelaskan 95% organisasi sosial di Asia telah memanfaatkan teknologi digital untuk memberikan layanan kepada penerima manfaatnya. Tiga cara utama yang paling banyak digunakan untuk memberikan layanan adalah telepon (69%), pesan instan (63%), dan panggilan video (57%). Laporan itu juga menyebut Filipina, Indonesia, dan Malaysia sebagai 3 negara yang organisasi sosialnya tertinggi dalam memanfaatkan teknologi digital untuk menyelenggarakan acara atau pertemuan virtual.

Selain itu, Orsos di Asia memanfaatkan teknologi digital untuk penyusunan laporan keuangan (80%), penyimpanan data keuangan (90%), dan penyimpanan jenis data lainnya, seperti data donor, proyek, penerima manfaat (75%). Penggunaan alat digital untuk tugas administratif, penjangkauan komunitas, dan penggalangan dana juga semakin populer.

Namun, Annelotte menambahkan, Orsos di Asia kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan sepenuhnya manfaat teknologi digital. Laporan DGI 2024 mengungkap minimal dukungan pendanaan dan investasi terhadap perusahaan dalam mengembangkan teknologi digital baik untuk operasional organisasi maupun pelaksanaan program dan layanannya. Padahal, dukungan pendanaan tersebut sangat penting bagi organisasi untuk merespons lanskap digital yang berubah dengan cepat. Sayangnya, hampir setengah dari organisasi di Asia melaporkan bahwa donor mereka tidak mendanai biaya teknologi digital.

 Minimnya dukungan ini membuat sektor sosial di Asia tidak siap menghadapi perubahan teknologi di tengah pesatnya digitalisasi di kawasan ini. Kami percaya sektor swasta maupun filantropi dapat memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan teknologi digital bagi sektor sosial. Donor harus menyadari bahwa tantangan dalam memperoleh pendanaan tersebut menghalangi organisasi yang mereka dukung untuk berinvestasi dalam teknologi digital yang dapat meningkatkan produktivitas dan dampaknya.

Dukungan pendanaan operasional serta donasi dalam bentuk keahlian dan perangkat digital dapat membantu organisasi-organisasi sosial yang terlibat dalam pengembangan kapasitas untuk sepenuhnya memanfaatkan teknologi digital guna memenuhi misi mereka dalam membantu masyarakat,” katanya. 

Hamid Abidin, Peneliti PIRAC, menyatakan bahwa sektor sosial di Indonesia juga mengalami digitalisasi secara pesat, seperti halnya di Asia. Laporan DGI 2024 mengungkapkan bahwa pengelola perusahaan di Indonesia memiliki akses internet andal dan cepat di tempat kerja mereka (75%) dan menggunakan perangkat komputer/tablet (69%). Orsos di Indonesia juga sudah mempromosikan profil dan karya di situs web (74%), media sosial (94%), serta buletin digital (53%). Mereka juga meningkatkan penggunaan teknologi digital untuk menyediakan layanan daring (55%), mengintegrasikannya dengan operasional organisasi (57%), mengembangkan kolaborasi (69%) dan memanfaatkan media sosial untuk promosi dan penyebaran informasi (75%). Sebagian besar organisasi (98%) melakukannya dengan menggunakan <span;> perangkat lunak dasar <span;> dan hanya 43% yang menggunakan <span;> perangkat lunak lanjutan.

Seperti kasus serangan siber terhadap Pusat Data Nasional, serangan siber juga menyerang sektor sosial di Indonesia. Laporan DGI 2024 mengungkapkan bahwa sebagian besar (66%) organisasi yang disurvei mengalami serangan keamanan siber dalam 2 tahun terakhir. Kondisi mereka lebih rentan karena masih sedikit organisasi (31%) yang memiliki rencana keamanan siber (Cybersecurity plans). Selain itu, masih sedikit organisasi yang melakukan langkah-langkah mitigasi untuk mengantisipasi dan menghadapi serangan siber tersebut dalam bentuk penggunaan perangkat lunak Anti-virus/spyware/malware (47%), pelatihan staf (32%), atau menyewa konsultan/vendor (12%). 

“Meski sudah sering menjadi korban serangan siber, nampaknya kesadaran pengurus atau staf organisasi terhadap keamanan siber masih rendah. Terbukti belum banyak organisasi yang mengalokasikan sumber daya untuk mengantisipasi hal tersebut. Minimnya sumber dana dan keahlian membuat mereka pasif dan pasrah menerima risikonya”. kata Hamid.

Mengacu pada Laporan DGI 2024, Hamid mencatat ada 3 tantangan utama yang dihadapi masyarakat dalam pemanfaatan teknologi digital, termasuk dalam menghadapi serangan siber, yakni dana terbatas (71%), rendahnya keahlian staf (57%), serta minimnya dukungan dari donasi (51%). “<span;> Oleh karena itu, kita perlu menyadarkan dan mendorong sektor swasta, filantropi maupun pemerintah untuk membantu mengatasi tantangan yang dihadapi Orsos dalam melakukan digitalisasi terhadap operasional dan layanannya. Dukungan dapat diberikan dalam bentuk donasi perangkat keras dan perangkat lunak, peningkatan kapasitas staf Orsos, konektivitas internet yang lebih baik, serta mempersiapkan organisasi mereka menghadapi serangan siber. Selain memperkuat profesionalisme dan efektivitas kerja organisasi, dukungan ini juga membuat masyarakat sebagai penerima manfaat dapat terlayani dengan baik” katanya. 

Sementara Riza Imaduddin Abdali, Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan (Civil Society Advocacy Specialist YAPPIKA), menyoroti beberapa kebijakan terkait filantropi dan inisiatif sosial yang sudah usang dan tidak dapat merespon perkembangan digitalisasi sektor sosial dan filantropi. Ia mencontohkan kegiatan penggalangan donasi yang sebagian besar dilakukan secara digital menjadi terhambat dan tidak dapat dikembangkan secara optimal karena diatur oleh peraturan yang sudah usang, yakni  Undang-Undang Nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Menurutnya, pemerintah tidak memiliki kesadaran dan rasa urgensi untuk merevisi regulasi ini, padahal filantropi tengah berkembang pesat di Indonesia. Kegiatan penggalangan dan penyaluran donasi juga kerap dilakukan penanggulangan bencana yang terjadi hampir sepanjang tahun. Riza mendesak agar regulasi ini segera direvisi agar dapat mendorong kemajuan sektor filantropi, khususnya dalam penggalangan donasi. “Kita tidak bisa berbicara tentang pengembangan filantropi digital atau ancaman siber terhadap sektor sosial dan filantropi, sementara kerangka hukumnya sudah usang dan sulit diterapkan,” katanya.


Artikel ini telah tayang di energyworld.co.id pada 4 Juli 2024 dengan judul yang sama