Diterbitkan pada Jumat, 05 Juli 2024
Survei DGI 2024: 66 Persen Organisasi Sosial di Asia Mendapat Serangan Siber
Jakarta - Laporan Doing Good Index (DGI) 2024 merekam adanya fenomena masifnya digitalisasi dalam organisasi sosial di Asia, termasuk di Indonesia, yang rentan terhadap serangan siber. Dari 2.183 organisasi yang menjadi responden, ada 66 persen mengaku pernah mendapat serangan siber.
Doing Good Index (DGI) 2024 ini juga menyinggung serangan siber yang sedang dialami Pusat Data Nasional Sementara (PDSN). Dalam laporan ini, ada 66 persen organisasi yang mendapat serangan siber dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini dinilai lebih rentan karena hanya 31 persen organisasi yang memiliki rencana keamanan siber.
Peneliti Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Hamid Abidin, menyebut organisasi sosial ini juga minim mengantisipasi dan mitigasi dalam menghadapi serangan siber. Dalam penggunaan antivirus spyware/malware software hanya ada 47 persen, pelatihan staf ada 32 persen, dan sewa konsultan atau vendor hanya 12 persen.
"Meski sudah sering menjadi korban serangan siber, nampaknya kesadaran pengurus atau staf organisasi sosial terhadap keamanan siber masih rendah. Terbukti belum banyak organisasi sosial yang mengalokasikan sumber daya untuk mengantisipasi hal tersebut. Minimnya sumber dana dan keahlian membuat mereka pasif dan pasrah menerima resikonya,” kata Hamid seperti dalam keterangan tertulis pada Kamis, 4 Juli 2024.
Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) meluncurkan laporan Doing Good Index (DGI) 2024 yang bekerjasama dengan Yayasan Penabulu, Co-Evolve II, Dompet Dhuafa dan Human Initiative di Jakarta, pada Kamis siang, 7 Juli hari ini. Doing Good Index atau Indeks Berbuat Baik merupakan kajian 2 tahunan yang menggambarkan peta kebijakan, praktik institusi, dan lanskap sektor sosial di 17 negara Asia, termasuk di Indonesia. Kajian ini melibatkan 2.183 organisasi sebagai responden dan 140 panel ahli. Pelaksanaan riset DGI 2024 di Indonesia dilakukan berkolaborasi dengan PIRAC dan melibatkan 202 organisasi dan 11 pakar.
DGI mengkaji empat sub-indeks yang dinilai bisa memperkuat atau melemahkan inisiatif sosial, yaitu peraturan perundang-undangan, kebijakan pajak dan fiskal, kebijakan procurement (pengadaan barang dan jasa), serta ekosistem sektor sosial. Selain komponen di atas, DGI 2024 juga secara khusus mengkaji digitalisasi sektor sosial.
Mengacu pada Laporan DGI 2024, Hamid menyebut ada tiga tantangan utama yang dihadapi organisasi sosial dalam pemanfaatan teknologi digital, termasuk dalam menghadapi serangan siber. Temuan DGI 2024 menunjukkan ada 71 persen organisasi yang dananya yang terbatas, rendahnya keahlian staf ada 57 persen, serta minimnya dukungan dari donatur ada 51 persen.
Oleh karena itu, Hamid menyebut mesti ada upaya untuk menyadarkan dan mendorong semua pihak untuk membantu mengantisipasi tantangan organisasi sosial ini. Dukungan itu bisa berupa membantu perangkat keras, lunak, meningkatkan kapasitas staf organisasi, konektivitas internet, dan menyiapkan organisasi yang siap menghadapi serangan siber.
"Karena itu, kita perlu menyadarkan dan mendorong sektor swasta, filantropi maupun pemerintah untuk membantu mengatasi tantangan dihadapi Orsos dalam melakukan digitalisasi terhadap operasional dan layanannya. Selain memperkuat profesionalisme dan efektivitas kerja orsos, dukungan ini juga membuat masyarakat sebagai penerima manfaat bisa terlayani dengan baik" kata dia.
Ada 95 Persen Organisasi Sosial Manfaatkan Digitalisasi
Direktur Penelitian Centre for Asian Philanthropy and Society (CAPS), Annelotte Walsh, mengatakan ada 95 persen organisasi sosial di Asia sudah memanfaatkan teknologi digital untuk melayani masyarakat. Tiga cara utama yang paling banyak digunakan melalui telepon sebanyak 69 persen, pesan singkat 63 persen, dan video panggilan 57 persen.
Selain itu, dia menyebut ada tiga negara di Asia yang organisasi sosialnya memanfaatkan teknologi digital untuk acara atau rapat virtual, yaitu Filipina, Indonesia, dan Malaysia.
Kemudian, organisasi sosial itu yang memanfaat teknologi digital untuk penyusunan laporan keuangan ada 80 persen, penyimpanan data keuangan ada 90 persen, dan penyimpanan jenis data lainnya, seperti data donor, proyek, penerima manfaat 75 persen.
“Penggunaan alat digital untuk tugas administratif, penjangkauan komunitas, dan penggalangan dana juga semakin populer,” kata Annelotte saat acara peluncuran sekaligus diskusi publik Laporan Doing Good Index (DGI) seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Kamis, 4 Juli 2024.
Annelotte menambahkan, organisasi sosial di Asia kekurangan sumber daya dalam memanfaatkan teknologi digital ini. Laporan Doing Good Index 2024 ini menemukan minimnya dukungan pendanaan dan investasi bagi organisasi sosial dalam mengembangkan teknologi digital untuk operasional kerja.
Dia menyebut hampir setengah dari organisasi di Asia melaporkan bahwa donor mereka tak mendanai biaya teknologi digital. Padahal, dukungan pendanaan tersebut sangat penting bagi organisasi untuk merespons lanskap digital yang berubah dengan cepat.
“Minimnya dukungan ini membuat sektor sosial di Asia tidak siap menghadapi perubahan teknologi di tengah pesatnya digitalisasi di kawasan ini. Kami percaya sektor swasta maupun filantropi dapat memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan teknologi digital bagi sektor sosial,” kata dia.
Annelotte menilai dukungan pendanaan operasional serta donasi untuk organisasi sosial dalam bentuk keahlian dan perangkat digital dapat membantu berinvestasi dalam mengembangkan kapasitas. Langkah ini dinilai akan memaksimalkan dukungan pelayanan organisasi sosial dalam membantu masyarakat.
Pesat Digitalisasi Sektor Sosial di Indonesia
Peneliti Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Hamid Abidin, mengatakan sektor sosial di Indonesia juga mengalami digitalisasi secara pesat. Laporan DGI 2024 mengungkapkan bahwa pengelola organisasi sosial di tanah air memiliki akses internet yang andal dan cepat di tempat kerja sebanyak 75 persen, menggunakan perangkat komputer atau tablet ada 69 persen.
Selain itu, organisasi sosial yang sudah mempromosikan profil dan karyanya di website sebanyak 74 persen, media sosial ada 94 persen, serta bulletin digital ada 53 persen. Mereka juga meningkatkan penggunaan teknologi digital untuk memberikan layanan secara online ada 55 persen, mengintegrasikannya dengan operasional organisasi ada 57 persen, mengembangkan kolaborasi ada 69 persen, dan memanfaatkan media sosial untuk promosi dan diseminasi informasi ada 75 persen.
“Sebagian besar organisasi, 98 persen, melakukannya dengan menggunakan basic software dan hanya 43 persen yang menggunakan advance software,” kata dia.
Sementara itu, Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan (Civil Society Advocacy Specialist YAPPIKA), Riza Imaduddin Abdali, juga menyoroti beberapa kebijakan terkait filantropi dan inisiatif sosial yang sudah usang dan tidak bisa merespon perkembangan digitalisasi sektor sosial. Ia mencontohkan kegiatan penggalangan donasi yang sebagian besar dilakukan secara digital menjadi terhambat dan tidak bisa dikembangkan secara optimal karena diatur oleh regulasi yang sudah tak relevan, yakni Undang-undang Nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB).
Riza menilai pemerintah tidak punya kesadaran dan sense of urgency untuk merevisi regulasi ini padahal filantropi tengah berkembang pesat di Indonesia. Apalagi, Riza menyebut penggalangan dan penyaluran donasi juga kerap digelar sepanjang tahun merespons bencana yang terjadi.
Riza mendesak agar regulasi ini segera direvisi agar bisa mendorong kemajuan sektor filantropi, khususnya dalam penggalangan donasi. "Kita tidak bisa bicara tentang pengembangan filantropi digital atau ancaman siber terhadap sektor sosial dan filantropi, sementara kerangka hukumnya sudah usang dan sulit untuk diterapkan," katanya.
Artikel ini telah tayang di bisnis.tempo.co pada 5 Juli 2024 dengan judul yang sama